Jumat, 22 Oktober 2010

AL QURAN NAFAS PERADABAN ISLAM



Al-Qur’an bukan kitab suci yang hanya mengurusi masalah ibadah dan hukum. Ia adalah kitab samawi yang memuat unsur-unsur keimanan, akidah, cara berpikir metodologis dan way of life. Hal ini tampak jelas ketika Al-Qur’an menghubungkan antara manusia, alam (cosmos) dan Allah. Ia mengajak manusia untuk memikirkan tiga dimensi waktu: masa lalu, sekarang dan yang akan datang; tentang sang Khâliq dan makhlûq, dunia dan akhirat, material dan spiritual, yang nyata dan yang gaib. Al-Qur’an begitu komprehensif dalam membimbing manusia: dari segi ibadah, interaksi sosial dan etika insani. Menurut Prof. Shâdiq al-`Ibâdî, Al-Qur’an merupakan kitab suci pertama yang meletakkan hukum kausalitas dan berpikir rasional  serta menyatukannya dalam unsur manusia, alam dan Allah dalam satu peta integral. Hal ini dilihat dari sasaran Al-Qur’an dan keserasian korelasi antara ketiga unsur tersebut, karena Allah tidak menciptakan tujuh lapis langit dan bumi dan segala isi yang ada di dalamnya dengan main-main (Qs. Ad-Dukhân: 38). (Jurnal ALBASA`ER, NO. 33, THN 35, 2004: 40).
Al-Quran bukan teks statis. Al-Quran pedoman dinamis karena kebenarannya bersifat mutlak; melintasi batas waktu dan sekat geografis. Fakta mukjizat teks Al-Quran tidak bisa dirubah, menjadikan ketahanan kebenaran isinya sepanjang masa. Beberapa kali kaum orientalis berusaha memapankan studi kritik Al-Quran, akan tetapi selalu nihil. Ignaz Goldziher, Theodore Noldeke, Friedrich Schwally, dan Arthur Jeffery termasuk di antara beberapa nama orientalis yang gagal mengecoh kebenaran Al-Quran. Sulit sekali melakukan tahrif (menambah/mengurangi huruf) atau tabdil (merubah makna dan sasaran) Al-Quran yang teriwayatkan mutawatir. Allah SWT berfirman, “Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah,” (QS. Yunus (10): 64). Jangankan kesalahan kalimat atau kata, keliru huruf dan harakah (bunyi huruf) saja akan kelihatan. Kesungguhan para sahabat memelihara autentisitas dan orisinalitas Al-Quran terlihat dari metodologi riwayat dan isnad. Keduanya termasuk peninggalan luhur mereka dalam melestarikan teks Al-Quran. Riwayat adalah proses transmisi berita dari perawi terakhir sampai Rasulullah SAW. Sedangkan isnad, jalan berita dari seorang rawi (pembawa berita) hingga Rasulullah SAW (mu’an’an). Belum lagi jumlah para penghapal Al-Quran (hafizh fi al sudur) yang tidak terhitung, turut menjaga teks Kitab Suci. Sungguh benar janji Allah, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Quran, dan Kami benar-benar memeliharanya,” (QS. Al Hijr (15): 9).

Khazanah
Bahasa Arab sebagai bahasa paling tua di dunia, merupakan khazanah tak ternilai bagi umat Islam. Tentu saja, belajar bahasa Arab tidak serta menjadi bangsa Arab sekaligus. Ia hanyalah salah satu alat transformasi Al-Quran dalam menyampaikan nilai-nilai Islam. Bahasa Arab juga dikenal unik dan kompleks. Selain mengajarkan huruf-huruf hijaiyyah, juga bunyi dengung, harakah (vokal atau konsonan huruf hijai; fathah, dlammah, kasrah, dan sukun), predikat suatu kalimat yang menentukan makna subjek (fa’il), predikat (fi’il), kata benda (isim), keterangan (maf’ul), perubahan huruf dari tiga sampai delapan (tashrif). Ada lagi kaidah sastra seperti ilmu Balaghah, Ma’ani, Badi’, dan Bayan. Semua ilmu itu terangkum dalam Ulumul Qur’an. Inilah kemukjizatan Al-Quran yang disinggung Gamal Al Banna (2003) sebagai unsur kekekalan yang mengiringi sejarah kemanusiaan universal. Sebuah kitab atau bacaan, memungkinkan setiap generasi menelaah, menemukan inspirasi, kerahmatan, dan juga pengetahuan.
Persinggungan Al-Quran dengan ragam zaman dan sejarah kemanusiaan, bukti Al-Quran mengandung wawasan peradaban selain risalah kebenaran. Al-Quran hendak mengarahkan pembacanya pada peradaban Tauhid, di mana perilaku manusia melandaskan diri pada Prinsip keesaan Tuhan namun tanpa mengabaikan kepentingan kemanusiaa. Sebuah wawasan peradaban–meminjam istilah Kuntowijoyo humanisme teosentris. Fakta sejarah peradaban manusia selalu mengalami pergeseran dan pergantian di satu sisi, dan kelanggengan Peradaban Al-Quran dalam sejarah umat manusia di lain pihak, seharusnya memantapkan umat Islam guna melanjutkan gerak peradaban Qurani. Apalagi di saat peradaban lain cenderung memfaktakan realitas keadaban yang anti-kemanusiaan universal dan juga menghalangi laju perdamaian dunia, kehadiran peradaban Al-Quran akan teruji dan terus tertantang menjadi alternatif solusi.

Peradaban Qurani
Al-Quran merupakan petunjuk hidup yang mencakup akidah (spirit), ibadah (ritus), Mu’amalah (sosial), dan syari’ah (hukum). Al-Quran menegaskan sifat yang melekat di dalamnya sebagai transformatif; membawa misi perubahan yang mengeluarkan manusia dari sistem kegelapan (sektor hukum, politik, ekonomi, sosial, dan budaya) kepada benderang cahaya (demi kebahagiaan dan kesentosaan hidup di dunia dan akhirat). Ada tiga alasan penting kenapa perlu melacak wawasan Al-Quran dalam merumuskan peradaban Islam. Pertama, kemandirian struktur ilmu pengetahuan yang dibangun atas dasar pandangan hidup Islam. Kedua, tantangan modernitas dan globalisasi di mana penegasan identitas diri secara komprehensif begitu dominan. Ketiga, adanya sentimen ideologis yang bukan sekedar konflik atau benturan peradaban yang bersifat ekonomis-politis-ideologis (konspiratif), melainkan karena perbedaan kultural murni yang secara tradisional ditunjukkan oleh fakta perbedaan bahasa, sejarah, nilai, adat istiadat, dan yang paling penting adalah agama.

Silaturahim global
Musim haji merupakan momentum yang tepat guna merestorasikan kembali kesadaran berkeadaban umat Islam secara global. Kesadaran ini bukan sikap opensif untuk kontra-peradaban dengan peradaban lain. Melainkan upaya defensif yang merefleksikan sikap introspeksi ke dalam terutama berkaitan dengan nasib dunia Islam saat ini mulai dari soal kelaparan, kemiskinan, dan pendidikan. Dalam hubungan luar negeri, umat Islam perlu berpartisipasi mengenai kerjasama antarnegara, kekompakan, serta perdamaian dunia. Inilah kesempatan dan peluang utama di mana umat Islam dari berbagai penjuru dunia datang ke tempat suci Mekkah dan Madinah (haramain; dua tempat suci yang menjadi simbol keseimbangan dunia/akhirat, QS.2: 201) tiada lain panggilan jihad sosial.
Apa artinya ibadah haji ke Mekkah dalam seruan global jika implikasinya hanya kembali pada kepentingan sendiri. Inilah kenapa Al-Quran menyinggung ibadah haji memiliki fadhilah/keutamaan (QS.2: 198). Salah satunya kepentingan ekonomi maupun politik. Menurut Prof. Dr. Muhammad Husaini Ghazali, Guru Besar Filsafat Universitas Al Azhar Mesir, di antara tantangan umat Islam saat ini ialah mudahnya umat terasuki cara pandang Barat. Hal itu terjadi diakibatkan lemahnya motivasi keagamaan, rendahnya wawasan keislaman, silau oleh peradaban Barat kemudian mengadopsinya tanpa sikap kritis. Selain itu, upaya menyamakan problem Al-Quran dengan Bibel (bermasalah dari segi orisinalitas dan autentisitas teks), keterjajahan, serta mengidentifikasi dan mendramatisasi peradaban Islam sebagai mundur dan peradaban Barat maju (Al Tayyarat Al Fikriyyah Al Mu’ashirah: 2006).
Hemat penulis, terdapat tiga upaya penting yang harus ditempuh guna merumuskan kembali kedigdayaan peradaban Al-Quran yaitu :
1.      mengenal penyakit umat,
2.      normalisasi penyakit,
3.      implementasi doktrin.
Setelah mempurifikasi ragam anasir peradaban sekular (buatan manusia), umat akan cenderung mudah menerima peradaban Al-Quran secara murni, utuh, dan konsekuen. Bangunan peradaban mesti dilandaskan pada pandangan hidup eksklusif karena memiliki struktur konseptualnya sendiri dan karenanya memiliki implikasi keadaban berbeda satu sama lainnya. Dengan demikian, peradaban Al-Qur’an adalah peradaban yang hidup: nafasnya serasi dengan nafas zaman. Karena dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang berbicara tentang ‘pemikiran dan berpikir’  yang termuat dalam berbagai pecahan kata (al-musytaqqât) dari kedua kata tersebut. Kita tidak menemukan kata peradaban (al-tsaqâfah) atau musytaqqah-nya di dalam Al-Qur’an, kecuali berarti (wajadtumûhum adraktumûhum). Dan ini terdapat dalam enam ayat Al-Qur’an, diantaranya: waqtulûhum haitsu tsaqiftumûhum (Qs. Al-Baqarah [2]: 191).
Hanya saja, kita akan menemukan beberapa makna kata ‘peradaban’ (al-tsaqâfah) secara implisit dalam dua kata yang lain. Pertama, al-bashîrah. Al-Bashîrah adalah pemikiran yang mempengaruhi etika dan al-bashâir adalah pendapat-pendapat, pemikiran-pemikiran dan asumsi-asumsi atau pemahaman-pemahaman representaif dari bumi untuk menumbuhkan seluruh pemikiran-pemikiran, etika-etika dan nilai-nilai. Pengertian ini sejajar dengan ‘peradaban’ dalam makna edukasinya. Dan kedua adalah al-`ilm. Peradaban (al-tsaqâfah/al-mutsaqqaf) secara epistemologi (terutama dalam tiga artinya: penghasil ilmu, penuntut ilmu atau konsumen dan produsen pemikiran), kiranya terminologi Al-Qur’an yang dekat dengan kata al-tsaqâfah itu adalah al-`ilm/al-`âlim.
Sejatinya, sifat al-`âlim yang diberikan oleh agama kepada seorang manusia adalah derajat dan martabat tertinggi juga lebih bernilai dibandingkan al-mutsaqqaf (yang biasa diartikan dengan sarjana). Inilah yang terlintas dalam pikiran ketika seseorang disebut sebagai `âlim (yang berilmu) dan satu lagi disebut sebagai mutsaqqaf (sarjana). (`Alî `Alî Alu Musa, Tsaqâfah al-Islâm wa Tsaqâfah al-Muslimîn, 2005: 35-36).
Menurut Zaki Milad, terdapat sinyal-sinyal di dalam Al-Qur’an yang menarik untuk diketahui, yakni tentang analisa ide peradaban. Elemen-elemen itu sangat urgen, hanya saja jarang ‘dilirik’, jarang diungkap tentang value-nya dalam berbagai tulisan Arab-Islam: yang mendiagnosa ide peradaban bersamaan (pula) dengan sedikit dan terbatasnya tulisan-tulisan tersebut dan lemahnya akumulasinya. Menurutnya, tidak adanya perhatian kepada berbagai sinyalamen tersebut, menafsirkan adanya kelemahan ilmu dan keterbelakangan metodologi. Dan berbagai sinyalemen yang datang dari Al-Qur’an itu sangat penting sekali dan membutuhkan kontemplasi ekstra dan kritis; sampai kita menemukan (darinya) inspirasi dan ‘banjir makna’; terutama dalam hal analis ide peradaban ini: yang seorang peneliti enggan untuk ‘menyentuhnya’.
Iqra’ bismirabbik al-ladzî khalaqa yang diminta dari kata iqra’ bukan hanya sekedar membaca, namun koreksi atas pembacaan itu juga (iqra’ bismi rabbika). Segala sesuatu dalam Islam dimulai dengan nama Allah yang menciptakan segala sesuatu di alam ini. Agar manusia takut kepada Tuhannya dalam belajar dan keterdidikannya (tatsaqquf). Dan dengan rasa takut ini, Allah mengilhamkan hikmah kepada manusia yang memberi kebaikan yang banyak: “Barangsiapa yang diberi hikmah, ia telah diberi kebaikan yang banyak” (Qs. Al-Baqarah: 269). Dan dalam sebuah hadis disebutkan: “Ra’su l-hikmah al-khasyah min Allâh”.
Kawasan iqra’ itu luas, seluas penciptaan (al-khalq): iqra’ bismirabbika al-ladzî khalaqa. Allah menginginkan manusia untuk memikirkan seluruh makhluk yang ada dalam alam ini: dari dunia manusia, dunia hewan hingga dunia tumbuhan. Dari alam bumi hingga alam langit, dari partikel terkecil, yakni atom hingga partikel terbesar, yaitu galaxy. Dan di belakang seluruh ciptaan tadi terdapat ilmu yang diinginkan oleh Allah agar manusia memperoleh dan mengetahuinya, menguasainya dan menundukkannya untuk membangun agama dan dunia.
Ciptaan yang paling mulia itu adalah manusia yang dilebihkan oleh Allah dari makhluk yang lainnya. Oleh karena itu dalam ayat iqra’ ia disebut secara khusus: khalaqa al-insâna min `alaq. Dan manusia yang diciptakaan dari segumpal darah, dari mana ia memperoleh ilmu? Bagaimana ia memperoleh kemuliaan? Jawabannya adalah: ‘iqra wa rabbuka al-akram. Alladzî `allama bi al-qalam. `allama al-insâna mâ lam ya`lam”. Oleh karena itu, manusia seyogyanya membaca atas nama Tuhannya yang telah menciptakan, dan atas nama Tuhannya yang paling mulia. (Jurnal AL-KALEMAH, THN KE-12, 2005: 33-34).
Cara untuk mengembalikan peradaban Islam yang gemilang adalah dengan menghidupan ‘budaya baca’. Budaya tersebut harus dimulai dari ‘teks tunggal’, menurut Khaled Abou El- Fadl dalam bukunya Conference of the Book (Musyawarah Buku). Teks tunggal yang sampai hari ini terus diminati oleh mereka yang memang mengerti arti Al-Qur’an (bacaan) dan nafas peradaban. Dengan nada menguggah Khaled Abou El-Fadl bertanya:“Pernahkah ada peradaban yang didasarkan pada sebuah teks, teks tunggal, sebelum teks ini? Bukankah kita adalah peradaban bacaan? Namun bagaimana suatu peradaban yang didirikan atas bacaan melupakan seni membaca? Mengapa umat dari Kitab itu meremehkan buku-buku? Tuhanku, Engkau mengatakan bahwa mereka melupakan Tuhan, Engkau menjadikan mereka melupakan diri mereka. Tetapi orang melupakan dirinya seolah-olah dia tidak dapat lagi memahami dirinya. Apakah karena ini kami melupakan-Mu? Apakah karena ini kami jadi melupakan seni membaca?(Rochas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar